Sosial Politik


Bicara korupsi di negeri ini? mungkin semua orang juga bisa, karena nyaris dalam satu dekade terakhir tiada hari tanpa berita korupsi. Tetapi jika ditanya bagaimana memberantasnya, mungkin sedikit orang yang mampu memberikan ide cemerlangnya. Termasuk saya, sebenarnya tidak punya ide banyak tentang upaya pemberantasan korupsi, kecuali sebatas jawaban khalayak umumnya, hukum berat dan miskinkan koruptor. Yang telah diwujudkan dengan upaya penindakan yang telah dilakukan dengan berbagai gegap gempitanya. Sayangnya berbagai prestasi penindakan ini belum cukup, acapkali malah mempertebal pesimisme masyarakat pada lembaga yang oknumnya tertangkap KPK.

pajakPadahal bukan tidak mungkin pada lembaga itu sebenarnya telah melakukan banyak inisiatif dalam upaya pencegahan korupsi, bahkan tidak jarang pula tangkapan KPK justru berasal dari upaya pencegahan di lembaga tersebut. Oleh karena itu, setelah sepuluh tahunan berlalu, saatnya KPK lebih agresif lagi dalam upaya pencegahan. Jika boleh berpendapat, perlu upaya pencegahan yang lebih dari sekedar sosialisasi, edukasi, survey, publikasi kajian, atau upaya sejenis yang normatif dan kognitif. Bagaimana caranya? Mungkin saya juga tidak tahu, tetapi saya berpikir kini gilirannya untuk menilai lembaga mana yang serius dan relatif berhasil dalam upaya pencegahan korupsi. Pilihlah satu atau dua lembaga itu, kemudian lakukan apresiasi, eskalasi dan duplikasi modelnya pada lembaga-lembaga lainnya. Ya, minimal ada apresiasi yang layak terhadap lembaga tersebut sehingga menambah spirit lembaga tersebut, sekaligus menambah optimisme masyarakat luas.

Dan kalau ditanya lembaga mana saja itu, maka tanpa ragu saya jawab Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Lho kok, karena saya pegawai Kementerian Keuangan juga? tentu tidak, bukan sekedar itu alasannya. Kan yang ditangkap KPK banyak pegawai pajak? betul, tapi jangan lupa itu berasal dari laporan whistleblower yang diterima Direktorat KITSDA DJP. Lha, katanya masih banyak oknum nakal di DJP? katanya kan, bahkan katanya masih ada 300-an pegawai DJP yang masuk radar PPATK, kalaupun benar itu juga hanya 1% dari total pegawai pajak. Buktinya apa? dalam survei TII tahun-tahun terakhir, DJP tidak masuk lagi sebagai institusi yang dipersepsikan terkorup. Buktinya apa lagi? nih komentar Pak Sujanarko (Pejabat di KPK), pada Pertemuan Forum Anti Korupsi III 2012 silam, “Pasti ada oknum-oknum yang nakal. Bedanya, kalau dulu tidak ditangani secara layak, sekarang kalau ditemukan penyimpangan sudah ditangani secara layak,” Apa lagi buktinya? datanglah ke kantor pelayanan pajak dan rasakan sendiri perbedaannya.

Lalu bagaimana caranya? Nah, itu yang harus dikaji mendalam, tetapi ringkasnya cara yang ditempuh DJP adalah program reformasi birokrasi. Perlu diketahui bahwa DJP sudah memulai reformasi birokrasi tahun 2002, meskipun secara nasional baru diresmikan tahun 2007. Langkah-langkah reformasi birokrasi yang ditempuh antara lain penataan organisasi, perbaikan proses bisnis, dan peningkatan manajemen SDM, termasuk juga program remunerasi. Juga tidak kalah penting adalah perubahan budaya kerja di tubuh DJP. Setelah reformasi birokrasi, kebiasaan dan perilaku koruptif berubah drastis. Walaupun tidak bisa dikatakan 100%, perubahan budaya koruptif itu telah tumbuh baik dari pegawai pajak sendiri  maupun wajib pajak. Sekarang sudah jamak kita dapati dari pegawai pajak istilah, “itu jaman jahiliyah dulu”, “maaf, kita sudah modern pak”, dan sejenisnya.

Capaian inilah yang sudah saatnya digunakan sebagai model percepatan pemberantasan korupsi, dengan cara eskalasi dan duplikasi pada lembaga lain. Secara umum, model reformasi birokrasi inipun telah dijadikan referensi oleh Kementerian PAN dan RB dalam menyusun Naskah Akademis RUU Aparatur Sipil Negara. Dan secara spesifik, saya kira KPK juga layak menjadikannya referensi dalam upaya pencegahan korupsi yang lebih riil. Jangan selalu mencari referensi dari luar negeri ketika sudah ada contoh yang lebih dekat, apalagi unit kerja DJP ini tersebar di seluruh Indonesia.

Atau minimal berikan apresiasi yang selayaknya untuk DJP, terutama ketika ada oknum DJP terindikasi korupsi. Pernah saya berkeberatan pada saat salah seorang fungsional KPK saat memberikan sosialisasi tentang gratifikasi. Sang fungsional memperkenalkan diri dari Deputi Bidang Pencegahan, seraya memaklumkan unit kerjanya yang tidak populer karena sudah ada unit lain yang mewakili KPK, yaitu Deputi Bidang Penindakan. Saya sampaikan kritik bahwa KPK seharusnya tidak berpikir seperti itu, mengingat tanggung jawab KPK dalam pencegahan dan penindakan itu sama. Ibaratnya semua upaya pencegahan gagal pun, ketika ada satu operasi tangkap tangan saja maka apresiasi publik terhadap KPK sudah gegap gempita. Namun sebaliknya bagi DJP, segala upaya pencegahan telah dilakukan pun tetapi ketika ada satu kasus saja maka reputasi DJP langsung hancur di mata publik.

Ini lah yang selama ini terjadi ketika ada pegawai pajak tertangkap KPK. Memang betul, jika itu dari laporan whistleblower, biasanya KPK pun dalam konferensi pers tidak lupa menyebutkan hal itu. Namun, ternyata ini tidak cukup karena tetap saja media dan pengamat dengan gegap gempita senantiasa menyambut setiap berita buruk ini dengan tayangan, tulisan serta opini negatif dan tidak obyektif, bahkan menjurus penghasutan publik. Akibatnya 30 ribuan pegawai pajak lainnya merasa terintimidasi, tidak dihargai dan menurun semangatnya dalam bekerja. Jika KPK sangat berani mempertahankan argumentasinya dalam penindakan dari serangan tersangka/pengacaranya, sudah selayaknya juga berani untuk ikut berbicara lantang meluruskan segala opini negatif atas upaya pencegahan korupsi yang telah dilakukan DJP ataupun lembaga lainnya.

Bahkan sudah seharusnya KPK mendorong upaya-upaya tersebut untuk dieskalasi dan diduplikasi pada lembaga lain, baik pusat maupun daerah. Kelemahannya memang perlu dikoreksi, tetapi keberhasilannya yang tentu sangat layak untuk dipromosikan intensif dan dijadikan model bagi lembaga lain. Apalagi sepengetahuan saya, sampai saat ini pun KPK juga belum menemukan model yang berhasil diterapkan pada lembaga tertentu untuk pencegahan korupsi. Jika ini dilakukan, saya membayangkan adanya semangat perbaikan yang terus mengembang di DJP, adanya kebanggaan pegawai pajak, sekaligus optimisme publik tiap kali memandang kantor pajak yang tersebar se-antero Indonesia. Sekali lagi sederhana saja, sudah saatnya KPK memilih lembaga yang berhasil dalam upaya pemberantasan korupsi, menurut saya adalah DJP, kemudian lakukan apresiasi, eskalasi dan duplikasi modelnya pada lembaga lainnya.

 

Balikpapan, 31 Maret 2014

  • Sebuah apresiasi untuk rekan-rekan DJP yang hari ini masuk kerja untuk penerimaan SPT, meskipun hari ini adalah hari libur nasional.
  • Ditulis sebelum mencuatnya kasus BCA dan Hadi Poernomo. Dan kasus tersebut tidak mengubah opini penulis seperti tersebut pada tulisan di atas.
  • Tulisan pernah diikutsertakan pada Writing Contest Bisnis.com 2014.

Lebaran tahun lalu karena alasan tertentu saya tidak bisa mudik ke kampung, padahal masih memiliki sisa cuti tahunan yang cukup banyak. Selalu ada hikmah tentunya, saya malah bisa memanfaatkan cuti untuk i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Saya beri’tikaf di masjid dekat kontrakan rumah di perbatasan Kebayoran Lama – Pondok Aren. Ada banyak hal yang saya peroleh dari i’tikaf, baik spiritual maupun sosial, juga baik yang senang maupun yang sedih. Dalam kesempatan ini saya ingin berbagi sesuatu yang saya anggap menyedihkan.

Memasuki hari ke-29, Panitia Ziswaf masjid menjadwalkan pembagian hasil pengumpulan Ziswaf kepada para mustahik. Hingga pukul 16.30 pembagian masih dilayani, meskipun awalnya dijadwalkan pukul 14.00 hingga waktu asar saja. Waktu itu saya sedang santai di teras depan masjid, ketika, seorang ibu berjalan memasuki halaman masjid dari pintu samping masjid. Bersamaan juga dari arah pintu depan halaman masjid berlari seorang anak kecil kira-kira 3-4 tahun umurnya. Ternyata dia adalah anak si ibu tersebut yang kebetulan sedang bermain di depan masjid, yang akhirnya tidak diajak masuk karena tidak memakai sandal. (lebih…)

Mahfudz Siddiq
Ketua Komisi I DPR RI

Kamis (10/2) DPR RI berencana mengadakan rapat dengan Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS). Pertemuan ini menjadi relevansi estafet harapan dari paparan ide BJ Habibie, presiden ketiga RI, Senin (31/1) lalu tentang industri strategis nasional di Komisi I DPR. Saya pernah membaca orasi ilmiahnya di Bonn, Jerman, pada 1983 berjudul “Beberapa Pemikiran tentang Strategi Transformasi Industri Suatu Negara Sedang Berkembang”. Namun, penyampaiannya kali ini memiliki nuansa tersendiri dalam batin dan membuat saya merasa penting mendorongnya agar tersambung kepada BUMNIS.

Berkali-kali beliau menghentak meja dan menegaskan bahwa kita adalah bangsa pejuang. Itulah rasanya ruh dari gagasan beliau bahwa industri ini akan berhasil dimulai dari adanya penempaan sumber daya manusia (SDM) berkarakter pejuang dan berkualitas, bukan sekadar mengeksploitasi sumber daya alam (SDA). Semangat beliau ini berakar dari semangat Bung Karno pada Januari 1950 yang pernah menekankan urgensi menguasai sektor-sektor strategis seperti kapal laut dan dirgantara. Awal yang baik pula bagi DPR di tengah proses pembahasan RUU Revitalisasi Industri Strategis Pertahanan dan Keamanan (Rindham).

Tulisan ini saya hadirkan untuk menjelaskan konstruksi berpikir mengenai industri strategis yang mandiri, terintegrasi, dan berkualitas. Implikasi dari wujudnya industri semacam ini akan memperluas efek manfaat kebijakan pertahanan kepada dunia non-pertahanan. Di sinilah kita dapat menemukan kemampuan pertahanan untuk mewujudkan kehidupan ekonomi yang lebih baik (economic well-being) dan tatanan dunia  yang menguntungkan (favourable world order).

Integrasi industri strategis
Robohnya fundamen industri strategis nasional, sebenarnya terletak pada ketidaksabaran pemerintah dalam menjalani maraton yang ada. Hal ini terlihat ketika PT Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS) yang secara resmi berdiri dengan PP No 35 Tahun 1998 dengan mudahnya dibubarkan melalui PP No 52 Tahun 2002. Hilangnya PT BPIS sebagai Holding Company (perusahaan induk) pertama di lingkungan Kementerian BUMN yang berperan menaungi 10 industri strategis, membuat 10 industri dan 10 visi besarnya ikut melemah drastis.

Di antara industri strategis tersebut beserta visi dan spesifikasinya, yaitu: (i) PT DI sebagai pusat unggulan industri dirgantara yang dapat membuat roket/rudal, helikopter, dan fixwing aircraft. (ii) PT PAL pusat unggulan industri maritim yang dapat diharapkan untuk rekayasa kapal perang. (iii) PT Pindad pusat unggulan industri senjata yang dapat merekayasa senjata infanteri, meriam, amunisi, dan panser. (iv) PT Dahana pusat unggulan industri amunisi yang andalannya amonium nitrat, propelan dapat membantu untuk pembuatan peledak.

Kemudian (v) PT Krakatau Steel pusat unggulan industri baja. (vi) PT Barata Indonesia pusat unggulan industri alat berat. (vii) PT Boma Bisma Indra pusat unggulan industri diesel. (viii) PT Industri Kereta Api pusat unggulan industri kereta api. (ix dan x) PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) dan LEN pusat unggulan industri telekomunikasi, elektronika, dan komponen yang menciptakan alkomsus, siskomsat, dan radar.

Pertimbangan Indonesia dalam membubarkan holding company memang tidak pernah ditemukan landasan rasionalnya hingga sekarang. Kisah dari Instituto National de Industria (INI) Spanyol dan Instituto per la Ricostruzione Industriale (IRI) Italia dapat dijadikan pelajaran. Mereka melakukan pembubaran dan pengalihan melalui bursa kepada masyarakat setelah melalui tiga tahap. Pertama, pembentukan dan pertumbuhan industri strategis. Kedua, pengembangan dan reorganisasi. Ketiga, restrukturisasi industri nasional dan proses mengakhiri.

Kemandirian proses industri
Kemandirian hanya dapat dicapai jika diawali dukungan pemerintah untuk mengayominya secara tekun dan transformatif. Jika melihat contoh kasus INI yang berlangsung 54 tahun (1941-1995) dan IRI yang mengamankan jam kerja hingga 67 tahun (1933-2000), maka proses pembubaran BPIS yang baru empat tahun berjalan (1998-2002) merupakan tindakan prematur. Dampaknya terasa sekarang BUMN/S banyak yang sekarat. Tahun 1995 PT PAL karyawannya berjumlah 4.464 sekarang 1.414. PT DI, jumlah karyawan awalnya (1995) 15.651, sekarang hanya 2.988 orang.

Potensi Industri Indonesia untuk mandiri dan bersaing di tengah pergaulan masyarakat dunia itu sangat mungkin. Kuncinya adalah politik yang memahami, memberikan pengertian, dan memayungi kebijakan industri. Kemudian, kesadaran akan keterbatasan anggaran tahun jamak (multiyears), membutuhkan penyiasatan yang diistilahkan Defense Offset. Orientasinya, negara membeli yang terbaik, tapi siap meniru dan memproduksi yang terbaik pula di masa depan.

Pada titik inilah komitmen untuk memperbaiki tiga dimensi neraca (perdagangan, pembayaran, dan jam kerja) dibutuhkan. Perbaikan “neraca jam kerja” diwujudkan dengan perbaikan SDM yang berkualifikasi menjalankan roda industri militer ideal dalam jangka panjang.

Prioritas pembelanjaan
Komitmen integrasi dan kemandirian butuh didukung prioritas jangka menengah. Bagaimana dalam jangka menengah (5-15 tahun) terjadi efisiensi anggaran, namun tetap efektif menjaga kedaulatan NKRI. Titik ini disebut paling krusial karena segalanya baru berjalan dan serba terbatas.

Ada beberapa prioritas yang harus diperhatikan. Pertama, mengutamakan kekuatan antiserangan laut (Anti-Navy Force), sebelum memiliki kekuatan maritim yang tangguh dalam jangka panjang. Tujuannya untuk pencegahan penetrasi akses laut dari armada laut negara lain yang hendak masuk ke teritorial. Kedua, kerja sama multinasional untuk keamanan laut. Hal ini tentu saja untuk menunjang pengamanan di titik-titik vital, di antaranya, empat titik sumbat dunia: Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar.

Ketiga, mengandalkan payung kerja sama militer, dengan segera membuat pakta pertahanan atau perjanjian militer sejenis. Alternatif dukungannya dapat dengan siapa saja, selama tetap memperhatikan kedaulatan NKRI dan prinsip negara anggota ASEAN yaitu non-interference (tidak mengintervensi). Misalnya, kerja sama dengan Australia.

Prinsipnya, tema Rindham ini harus serius di tingkat RUU dan implementasi sehingga tidak berujung pada pemborosan, pengamanan teritorial berjalan, dan kemakmuran masyarakat dapat terus meningkat. Kemandirian industri strategis tujuannya tidak lain untuk memakmurkan ekonomi keluarga Indonesia yang berjumlah 240 juta rakyat itu. Seperti kebersamaan yang diistilahkan Bapak BJ Habibie dengan Indonesian incorporated atau PT Indonesia. Jika komitmen terhadap hal tersebut bergeser, maka habislah kisah bangsa pejuang.

sumber: http://republika.co.id:8080/koran/24/128900/Industri_Bangsa_Pejuang

Kalau anda seorang yang tinggal atau sering melintasi pinggiran Jakarta tentu pernah menyaksikan fenomena ini. Fenomena social yang berupa sekelompok anak-anak pelajar tingkat SMP atau SMA yang berombongan mencegat kendaraan truk atau kendaraan bak terbuka lainnya yang lewat kemudian menumpang untuk pulang. Mungkin fenomena ini  juga sedang terjadi di kota-kota lainnya. Dapat dipastikan, karena mereka menumpang tentu tentunya secara cuma-cuma alias gratis. Jumlahnya pun semakin hari saya amati semakin meningkat.

imagesphSelama beberapa waktu saya mencoba menganalisis fenomena yang saya anggap cukup menarik ini. Perilaku tersebut merupakan perilaku yang membahayakan mereka tidak saja secara fisik. Setidaknya saya menemukan tiga dugaan (hipotesis) terhadap fenomena ini.  Pertama, …….selengkapnya…..

Laman Berikutnya »